KNPK Dorong RUU Pertembakauan sebagai Kebijakan Strategis Industri Hasil Tembakau

0

Koranjurnal.co.id, Jakarta – Pada bulan Juni 2011, para petani tembakau di Pamekasan, Madura, kebingungan. Pasalnya, para petani kesulitan mendapatkan sediaan bibit. Kalaupun ada, harganya melambung tinggi. Pemerintah bukannya tidak berusaha mengatasi kelangkaan bibit. Hanya saja, sediaan bibit yang disiapkan oleh pemerintah di Kebun Bibit Tembakau tidak begitu diminati petani. Menurut salah seorang petani, akibat kelangkaan bibit ini, harga bibit melonjak mahal. Mereka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus kelangkaan bibit ini. Tetapi, pihak pemerintah menolak dipersalahkan.

Selain kisruh mengenai bibit, sektor perkebunan tembakau juga seringkali menghadapi ancaman gagal panen. Pada tahun 2016, realisasi panen hingga September masih mencapai 40%, dari total panen sekitar 200.000 ton. Hal ini berbeda jauh dengan realisasi panen tembakau pada tahun 2015 yang mencapai 70%, dengan kebutuhan industri sebesar 320.000 ton. Anomali cuaca menjadi penyebabnya (curah hujan tinggi sepanjang tahun, tanpa musim kemarau)

Dua kasus tersebut hanyalah sekelumit permasalahan yang ada pada sektor perkebunan tembakau. Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menilai berbagai masalah di sektor hulu pertanian dan industri hasil tembakau memiliki dua permasalahan utama, yakni budidaya tanaman dan tata niaga tembakau. Dua permasalahan ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat satu sama lain.

Budidaya Tanaman Tembakau

Fakta bahwa tingkat produksi dan produktivitas pertanian tembakau nasional cenderung fluktuatif, bahkan pada dasarnya masih rendah, merupakan pokok persoalan budidaya tanaman tembakau. Produksi tembakau Indonesia pernah mencapai rekor tertingginya pada 2012, yakni seberat 260.818 ton. Namun, setelah itu cenderung mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi tembakau nasional pada 2016 hanya mencapai 196.154 ton.

Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi dan produktivitas pertanian tembakau, yakni penentuan baku mutu (standarisasi) bibit yang disebabkan belum adanya satu sistem yang terbangun dengan baik antara pabrikan, petani, dan pemerintah.

Tata Niaga Tembakau

Persoalan pada tata niaga tembakau terletak pada matarantai yang panjang antara produsen (petani) dengan pihak konsumen penyerapnya (industri pengolah atau pabrikan). Tembakau sebagai komoditas strategis perkebunan nasional justru tidak banyak diurus tata niaga nya oleh negara. Selama ini, nyaris tidak ada kontribusi pemerintah dalam pertanian dan perdagangan tembakau, baik berupa payung peraturan dan kebijakan, apalagi bantuan permodalan.

Dapat dikatakan bahwa selama ini pertanian tembakau merupakan sektor mandiri, mekanisme pasar-lah yang menjadi pengendali satu-satunya dinamika pertanian dan perniagaan tembakau. Dalam hal ini seharusnya pemerintah menunaikan kewajibannya untuk melindungi kepentingan dan keberlangsungan industri strategis yang menjadi salah satu sumber terbesar pendapatan negara.

Dari dua persoalan utama pertanian tembakau yang telah disebutkan, KNPK menilai penerapan sistem kemitraan (partnership cooperation) antara petani dengan pabrikan dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Dengan sistem kemitraan, dapat diupayakan bersama tujuan-tujuan normatif berupa hubungan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan, dan saling memperkuat.

Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Nur Azami mengatakan, agar hal tersebut dapat terlaksana, maka perlu adanya payung regulasi yang khusus memayungi industri hasil tembakau.

“Adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan yang kini diusung dalam prolegnas prioritas 2018 merupakan momentum untuk menyamakan visi dan misi bagi stakeholder pertembakauan dan pemerintah,” ungkap Nur Azami melalui pers rilis yang diterima redaksi di Jakarta beberapa waktu lalu, Minggu (14/01/2018). (tonmp)