Koran Jurnal, Jakarta – Menyeruaknya isu utang BUMN yang dilansir anggota DPR RI Komisi I, besaran angkanya Rp 5.600 triliun dinilai sesuatu yang menyeramkan. Nampaknya, ia tak terlalu paham, bahwa kenaikan utang di saat Covid 19 dianggap sepi.
Padahal, ULN Pemerintah Indonesia pada bulan April 2020 tumbuh dramatis 2,6 persen atau setara US$ 400,2 miliar dibanding Maret 2020 sebesar 0,6 yoy sebgai upaya merealisasikan PEN.
Tak cuma itu, ULN Swasta termasuk BUMN jika dikonversi ke USD sebesar US$ 207,8 miliar, tetapi yang disoroti anggota dewan tersebut hanya ULN BUMN.
Menanggapi hal itu, Peneliti Yp institute for fiscal and monetary policy, Yuyun Pringadi menilai sikap Anggota Komisi I DPR RI itu terlalu berlebihan.Karena utang BUMN dilakukan karena untuk kepentingan pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan.
“Ada apa gerangan? Bicara ULN, ia lupa atau tidak mengerti sama sekali bahwa utang BUMN dilakukan untuk kepentingan Pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan. Jika mau mencari akar utang, carilah akarnya dari atas yakni, presiden sebagai Chief Financial Officer (CFO), bukan kepada pembantu presiden sebagai Operational Financial Officer (OFO) atau pelaksana program,” kata Yuyun dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (19/06/2020).
Yuyun menyebutkan bahwa bagaimana utang di saat wabah Covid 19 ? Ini adalah krisis ekonomi yang diakibatkan Coronavirus global, termasuk Indonesia.
“Bayangkan defisit APBN sudah mencapai angka 6,34 persen atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap PDB. Angka defisit itu akan masuk dalam revisi Perpres No. 54 Tahun 2020. Di mana awalnya asumsi Pemerintah yakin sebesar 5,07 persen atau setara Rp 852,9 triliun terhadap PDB, ternyata meleset defisit pun meningkat tajam,” jelasnya.
Namun Yuyun mempertanyakan sikap pengkritik yang tidak bernyanyi kepada presiden?.BI mencatat utang luar negeri Indonesia April 2020 mencapai US$ 400,2 miliar dan tumbuh 2,9 persen secara yoy. Jauh dibanding Maret ULN 0,6 persen. Tak berlebihan jika Pemerintah menerbitkan Perpu No. 1/2020 sebagai pengganti UU No. 17/2003. Tentu saja Perpu tersebut sebuah pengecualian (exception) yang
telah memaksa semua sektor ekonomi termasuk BUMN untuk tetap survival.
“Bagi saya disinilah anggota komsi I DPR RI yang membidangi Luar negeri dan Pertahanan harus mengerti. Sebagai contoh, belanja pemerintah pusat APBN 2020 meningkat menjadi Rp 1.974,4 triliun dari sebelumnya Rp 1.851,1 triliun, ada kenaikan Rp 123,3 triliun,” ujarnya.
Selain itu kata dia, kenaikan tersebut akan memicu Pemerintah untuk menambah suplai penerbitan surat berhaga negara (SBN) guna memenuhi sebagian pembiayaan dalam APBN 2020.
Pemerintah akan mengoptimalkan penerbitan melalui lelang, Obligasi Negara Ritel (ORI), serta private placement.Terkait program PEN (pemulihan ekonomi Nasional) dibutuhkan dana sekitar Rp 677,2 triliun dan kenaikan defisit itu dipastikan pemerintah mencari pembiayaan aias utang baik itu sumber penggunaan pinjaman program, termasuk sumber internal seperti, SAL, Dana abadi pemerintah dan BLU yang pasti didayagunakan.
Tidak hanya itu, penerbitan portofolio domestik dan global dengan back-up kebijakan moneter seperti, penurunan GWM, Stand by buyer di pasar perdana akan dilakukan. Kebijakan ekspansif untuk mendorong pembelian barang secara agregat, meningkatkan uang beredar agar roda ekonomi bergerak ke titik keseimbangan.
Semesti pengkritik tahu dan itu harus di alamatkan ke presiden. Mengapa itu tidak dilakukan? Masih ingatkah di awal wabah Covid 19, pemerintah mengelontorkan dana talangan APBN sebesar Rp 405,1 triliun untuk tiga komponen yakni, kesehatan,
jaring sosial dan dunia usaha.
Namun kata dia, jika dilihat, dari tiga komponen tersebut, dunia usaha mendapat porsi terbesar 53 persen. Artinya, presiden menangani wabah Covid 19 terkesan tak fokus dan panik dengan Covid 19, tetapi disisi lain presiden khawatir kinerjanya anjlok
.Menurut masyarakat itu didiamkan oleh pengkritik-pengkritik, terkuali Fadli Zon yang konsisten.
Menurut dia jika kembali ke utang BUMN, besaran utang tersebut tidak berdiri sendiri. Utang portofolio yang dimiliki investor non residensial harus dibaca sebagai pencarian pembiayaan untuk merealisasikan pembangunan.
“Kepentingan Pemerintah mencari
pembiayaan melalui unit-unit BUMN sangat beralasan. Perlu diketahui, pos-pos APBN sudah sulit untuk direstrukturisasi atau dikotak katik. Mengapa? Sekitar 96 persen alokasi dan distribusi anggaran pada APBN sudah menjadi Mandatory (diikat oleh undang-undang). Tak heran, ruang fiskal sempit dan Presiden nyaris tak memiliki diskresi untuk merealisasikan program pembangunan,” pungkasnya.
Ketika presiden Jokowi ingin merealisasikan program infrastruktur jalan tol, mencari pembiayaan suatu keniscayaan, maka utang pun meningkat. Ironisnya, nominal absolut sering digelindingkan sebagai isu bad debt (piutang ragu-ragu) yang dialamatkan ke BUMN. Apalagi isu itu sexy bagi lawan-lawan politiknya, seringkali isu itu untuk menohok orang yang tengah memimpin dan bekerja membenahi BUMN.
“Maka kalau dilihat di sini, pengkritik tak steril dari kepentingan konco-konconya yang dahaga kuasa. Serangan membabi buta di arahkan ke Erick Tohir, sampai batas hari ini Erick pun tak menyerah atau berdamai untuk dagang sapi,” tegasnya.
Selain itu, integritas Erick Tohir bukanlah Menteri kaleng-kaleng yang takut dengan politik beleng-beleng. Erick Tohir mahfum bahwa utang negara tak lepas dari syarat dan ketentuan undang-undang. Utang maksimal 60 persen dari debt to GDP ratio.
Dia menambahkan, rasio itu tertuang dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan protokol utang World Bank. Pertanyaannya kemudian, apakah undang-undang melarang negara berhutang? Jawabnya tidak, yang dilarang ketika sudah menabrak batas maksimal rasio utang terhadap PDB.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana utang di saat wabah Covid 19? Ini adalah krisis ekonomi yang diakibatkan Coronavirus global, termasuk Indonesia.
Bayangkan defisit APBN sudah mencapai angka 6,34 persen, atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap PDB. Angka defisit itu akan masuk dalam revisi Perpres No. 54 Tahun 2020. Di mana awalnya asumsi Pemerintah yakin defisit akan tembus sebesar 5,07 persen atau setara Rp 852,9 triliun terhadap PDB.
Ternyata meningkat tajam. Mengapa pengkritik tidak bernyanyi kepada presiden? BI mencatat utang luar negeri Indonesia April 2020 meningkat tajam US$ 400,2 miliar dan tumbuh 2,9 persen secara yoy. Jauh dibanding Maret ULN 0,6 persen.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, tak berlebihan jika pemerintah menerbitkan Perpu No. 1/2020 sebagai pengganti UU No. 17/2003. Tentu saja Perpu tersebut sebuah pengecualian (exception) yang telah memaksa semua sektor ekonomi termasuk BUMN untuk tetap survival. Disinilah pengkritik pura-pura diam sebagai angota komsi 1 DPR RI yang membidangi Luar negeri dan Pertahanan.
Ia juga mencontohkan seperti, belanja pemerintah pusat APBN 2020 meningkat menjadi Rp 1.974,4 triliun dari sebelumnya Rp 1.851,1 triliun, ada kenaikan Rp 123,3 triliun. Kenaikan tersebut akan memicu Pemerintah untuk menambah suplai penerbitan surat berhaga negara (SBN) guna memenuhi sebagian pembiayaan dalam APBN 2020.
“Nah di sini, Pemerintah tentunya akan mencetak lagi dan akan mengoptimalkan penerbitan melalui lelang, Obligasi Negara Ritel (ORI), serta private placement. Nah disini, peran BUMN sangat diperlukan dalam pencarian pembiayaan pemerintah,” ucapnya.
Pengkritik hrs jelas mengkritik BUMN sama halnya itu mendekonstruksi kinerja presiden. Ingat !! jangan karena jatah kursi berkurang, lalu menabrak nabrak itu berbahaya.(red)