Oleh: Dr. Yuyun Pirngadi
Belakangan ini isu seputar Pemilihan Presiden 2024 marak diperbincangkan diberbagai media sosial. Kendati masih tergolong lama, namun kasak kusuk Partai politik, organisasi sosial, bahkan organ relawan tak pernah sepi. Ada saja gerakan yang menyita perhatian publik.
Sebut saja, kelompok relawan Jokowi diam diam lempar bola dengan gagasan ambigu bernuansa aspiratif yakni, Musyawarah Rakyat (Musra). Musra merupakan media untuk mengartikulasikan aspirasi dan menerjemahkan kepentingan politik rakyat. Organ relawan mencoba menjaring dan menyaring pilihan rakyat terhadap kandidat capres/cawapres 2024.
Melalui mekanisme Musra ini diharapkan rakyat dapat informasi tentang kandidat, dan rakyat seolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam pilihan paslon idolanya. Kendati Mekanisme Musra itu sarat teka-teki, untuk tidak dikatakan kelabu. Sepintas nuansa gagasan itu dapat menyenangkan publik. Betapa tidak, mereka (relawan Jokowi) seolah akomodatif, cerdas, bisa dan biasa membaca denyut jantungnya rakyat. Padahal, organ relawan melakukan proses penjaringan dan menyaringan aspirasi rakyat, sama halnya tindakan “zero sum game”, (cara benar disini, tapi salah disana atau sebaliknya). Mengapa demikian? Persoalannya terletak pada dahaga kuasa. Syahwat kuasa diselipkan dalam agenda Musyawarah rakyat dan diformulasikan dengan sekuen tabel ke rakyat alurnya aspirasi ditandai adanya langkah turba (turun ke bawah) sebagai bentuk menangkap aspirasi bottom-up hingga batas kalender 2024.
Dalam pemahaman publik sekuen tabel yang diwacanakan menarik jika proses penangkapan aspirasi, lalu dibicarakan dalam musyawarah rakyat. Artinya, secara politis faktual proses tersebut memiliki kredibilitas dukungan resmi, dan secara yuridis formal memiliki kekuatan yang dapat dirujuk dalam model demokrasi konstitusional.
Menurut ketua umum Relawan Pondasi Jokowi Satu (Pojok Satu) Dr. Yuyun Pirngadi menilai, mekanisme penjaringan dan penyaringan aspirasi model bottom-up tak semudah apa yang dibayangkan sekelompok relawan Jokowi. Disamping high cost economic, peliknya menangkap benak masyarakat heterogenitas sama halnya orang buta mengidentifikasi hewan. Pegang kuping besar, dikategorikan gajah. Tak cuma itu, tindakan itu merupakan miopik, semut diseberang lautan terlihat, sedangkan gajah didepan mata tak terlihat.
Betapa tidak, heterogenitas di alam demokrasi selalu saja menjadi ikonis, tanpa mau tahu hadirnya demokrasi sebenarnya barang cacat sejak lahir. Ambil saja contoh, ketika ruang publik diisi 10 orang, dengan komposisi 9 orang pecundang, 1 orang bijak, maka mekanisme demokrasi membenarkan pemungutan suara melalui “voting”. Jika 10 : 1 = maka pasti dimenangkan 9 pecundang. Rusaklah aspirasi ditangan pecundang. Substansi voting itu tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat. Bagaimana di Indonesia? Negeri nyiur melambai ini, memiliki caranya sendiri yakni, voting tidak diharamkan, tapi mengedepankan azas musyawarah mufakat harus didahulukan. Kendati demikian, sebenarnya musyawarah merupakan voting yg ramah, sehingga terkesan lebih aspiratif dan akomodatif. Ketika aspirasi itu dijalankan oleh pecundang, maka aspirasi itu hanya jadi politik Alkalin alias akal-akalan untuk memenuhi syahwat kuasa.
Musyawarah rakyat hanya kemasan dan sulit direalisasikan oleh organ relawan yang payung hukumnya tak jelas. Apalagi melakukan bargaining position.
Secara struktural, kita pun tak yakin organ organ relawan memiliki infrastruktur ditingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Dari 34 provinsi dan lebih kurang 509 kabupaten/kota.
Belum lagi, proses menjaring aspirasi tak selalu kosong-kosong. Perlu ada tangan-tangan tak tampak bermain. Misalnya, kita mengenal Maradona, bintang lapangan sepak bola asal Argentina, didepan gawang ia pun seolah terlihat menyundul bola ke gawang, tapi cara cepat tangannya menyentuh bola dan bermain sehingga bola pun tembus gawang. Jadilah Argentina juara piala dunia. Tangan tangan ini pun berlaku bagi pecundang yg dahaga kuasa. Aspirasi diolah dan untuk menggoalkan kepentingan para pecundang. mendorong bola aspirasi ke arah gawang, maka goal terjadi dan klaim menelisik untuk mendapatkan kue kemenangan.
Pada relasi musyawarah rakyat (Musra) ada tiga masalah pokok yang harus diketahui. Pertama, apakah setiap organ relawan memiliki struktur organisasi tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, berapa isi tas yg dimiliki organ relawan dalam menangkap aspirasi rakyat di seantero Indonesia. Ketiga, metodologi apa yg digunakan dalam proses perhitungan suara pada musyawarah rakyat. Apakah menggunakan floating block atau mono block. Bagaimana merepresentasikan block-block itu. Apakah berbanding lurus 100 suara organ relawan, diklaim sama sebagai aspirasi politik setingkat kabupaten/kota.
Padahal, kita tahu di era multi parpol, aspirasi konstituen saja satu parpol warnanya magenta. Ketika tangan-tangan tak tampak bermain, maka baru suara bisa di-stem/disamakan. Tangan-tangan itu tidak kosong-kosong, organ relawan siapkah membawa gizi. Jika tak siap, tangan-tangan itu tak bisa seperti tangannya Maradona.
Membolak-balikkan hati rakyat tak semudah membalikkan telapak tangan.
Kita ambil contoh di Amerika Serikat. Acapkali Pilpres, dua parpol Republik dan Demokrat melakukan Konvensi sebagai mekanisme penjaringan dan penyaringan calon presiden.
Proses rekruiting calon presiden harus melakukan sosialisasi mencari dukungan rakyat di 51 negara bagian di AS. Proses panjang hrs dilalui dengan cost mahal, dan meletihkan. Pada akhirnya kedua parpol tersebut hrs memutuskan kandidatnya masing masing yg akan bertarung dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Survei rakyat menunjukkan dukungan dan diputuskan oleh parpol hasilnya. Maka dapatlah kandidat presiden dari proses penjaringan aspirasi rakyat. Mekanisme struktur parpol bekerja melakukan survei dan menghitung secara kuantitatif. Floting block dengan membagi unsur-unsur kekuatan suara, lalu dipresentasikan secara kuantitatif, maka didapat angka yang representatif. Contoh soal, unsur kekuatan organisasi underbow partai mendapat suara 20 (voting block). Struktur negara bagian atau provinsi mendapat suara 30, begitu pula struktur kabupaten/kota 40. Untuk pusat 10. Total 100 suara equivalen 100%. Ketika dilakukan perhitungan di lintas parpol, maka floating block suaranya sangat varian. Bahkan, pilihan ditentukan oleh janji kampanye politiknya yang dilakukan calon ketika berkeliling ke negara bagian.
Pertanyaannya, bagaimana konsep perhitungan penjaringan/penyaringan dalam Musra?
Jika Musra tak memiliki konsepsi jelas, itu tandanya iseng-iseng aja relawan dagang. Cari sensasi dan momentum semata. Jangan pernah mimpi atau menggeneralisasikan perilaku politik masyarkat di Indonesia dan AS berbeda. Pemilih Indonesia, dapat digolongkan menjadi 4 bagian:1). Pemilih tradisional, 2)pemilih massa mengambang, 3). pemilih undecided, 4). pemilih rasional. Jika Relawan jokowi tak memiliki konsep floating block dan monoblock. Mana mungkin mendapat konsep Musra yang mumpuni. Tentunya ada satu kata yakni, jangan pernah akal-akalan. Jika dahaga kuasa, lalu menjual aspirasi rakyat. Ujungnya mengklaim atas nama rakyat, (Musra) untuk meminta kue kekuasaan. Walahualam bisawab.
Penulis: Ketua umum Relawan Jokowi Satu (Pojok Satu)