Koran Jurnal, Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) ingin masyarakat lebih memahami apa yang dimaksud telur infertil. Secara definisi, telur infertil bisa dikatakan telur yang tidak mengalami pembuahan (fertilisasi) oleh sel sperma dari ayam jantan.
Infertilitas bisa juga disebut sebagai kemandulan, yaitu suatu istilah dapat juga diartikan sebagai kegagalan, tidak berhasil, atau tidak dapat membentuk.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Dirjen PKH Kementan), I Ketut Diarmita, menjelaskan ada dua jenis telur infertil. Dua jenis telur infertil ini dibedakan berdasarkan asal sumber telurnya.
Jenis telur infertil yang pertama yaitu telur infertil bersumber dari ayam ras petelur atau layer komersial hasil budidaya, bukan pembibitan (dalam pemeliharaannya tidak dicampur dengan pejantan) atau telah lazim disebut telur konsumsi.
“Telur ini adalah telur infertil yang aman dan sehat untuk dikonsumsi serta tidak dicirikan oleh warna cangkang tertentu,” ujar Ketut, Minggu (14/06/2020).
Warna cangkang atau kerabang telur dari semua strain ayam layer yang dibudidayakan di Indonesia umumnya coklat. Warna kerabang sendiri dipengaruhi deposit pigmen induk selama proses pembentukan telur dan ditentukan oleh genetik ayam.
Namun, warna kerabang telur ayam layer komersial di banyak negara bervariasi seperti coklat tua, krem, putih dan biru. Pembentukan warna kerabang telur tidak ditentukan oleh asupan pakan dan tidak berkaitan dengan nilai gizi telur.
Sedangkan, telur infertil jenis kedua yaitu telur infertil hasil dari breeding farm ayam ras. Telur infertil ini adalah telur tetas atau hatching egg (HE) yang tidak dibuahi oleh sel sperma dari ayam jantan. Pembuahan telur HE melalui Inseminasi Buatan (IB) atau pencampuran dengan pejantan dalam pemeliharaannya. Telur infertil ini merupakan ayam ras yang telah melewati masa inkubasi 18 hari (dalam mesin setter/inkubator).
“Nah ini yang dilarang peredarannya dan diatur dalam Permentan No. 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi,” jelas Ketut.
Sebagai catatan, telur HE baru diketahui infertil pada saat sebelum transfer dari mesin setter ke mesin tetas (hatcher) dengan cara peneropongan (candling) yaitu tepat pada hari ke-18 ketika berakhirnya inkubasi. Melalui candling, telur infertil diamati dengan warna terang, sementara telur fertil warnanya gelap.
Pada periode setting telur HE ini, diketahui rata-rata presentase telur infertil mencapai 12 persen dari total telur yang diinkubasi (masuk mesin setter). Hal ini menunjukkan kinerja breeding farm melalui capaian fertilitas dan umumnya rata rata 83 persen, tergantung struktur flok suatu farm.
Pada ayam induk (Parent Stock) umur muda (young flock) dan tua menjelang afkir umumnya fertilitas relatif rendah, sebaliknya fertilitas tertinggi pada umur induk 30 – 50 minggu. Telur HE sejak dari farm tidak ada perbedaan antara yang fertil dan infertil karena candling dilakukan setelah 18 hari dalam mesin setter saat sebelum transfer.
Telur HE yang masuk ke mesin setter dan diketahui infertil setelah candling dikategorikan sebagai limbah hatchery dan tidak layak konsumsi karena sudah mendekati rusak atau busuk. Masa simpan telur menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) telur konsumsi tahun 2018 adalah 14 hari setelah produksi pada suhu ruangan dengan kelembaban 80 – 90 persen.
Masa simpan telur dapat bertahan sampai 30 hari sejak dari produksi pada suhu dingin yaitu 4 – 7 derajad celcius dengan kelembaban 60 – 70 persen.
“Telur HE dari breeding farm selama proses inkubasi dalam mesin setter banyak mengalami fumigasi, umumnya menggunakan formaldehid (atau biasa dikenal formalin) untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme,” tambah Ketut.
Ada potensi risiko kesehatan bagi masyarakat apabila mengkonsumsi telur infertil dari breeding farm ini, karena adanya residu fumigasi dari formaldehid dan ikut terkonsumsi serta masuk dalam saluran pencernaan manusia.
Pemerintah Jamin Keamanan dan Kualitas Telur
Ketut mengatakan, pemerintah juga memberikan jaminan untuk keamanan dan kualitas produk telur yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pemerintah memberikan jaminan berupa Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
“Sertifikat NKV adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah, telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai jaminan keamanan produk hewan pada unit usaha produk,” jelas Ketut.
NKV wajib dimiliki oleh semua unit usaha produk hewan termasuk unit usaha budidaya ayam petelur dan unit usaha pengumpulan, pengemasan dan pelabelan telur konsumsi sesuai dengan Permentan No. 11 Tahun 2020 tentang Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner pada unit usaha produk hewan.
Sanksi juga diatur secara tegas. Sanksi bagi unit usaha yang tidak mengajukan sertifikasi NKV atau unit usaha yang belum memenuhi persyaratan teknis (dalam pembinaan maksimal 5 tahun) yaitu mulai dari sanksi administrasi berupa Peringatan Tertulis dan atau Penghentian sementara dari kegiatan produksi hingga pencabutan izin usaha.
“Setiap produk hewan yang diedarkan untuk konsumsi, wajib berasal dari unit usaha yang memiliki NKV,” tegas Ketut.
“Kami semua memahami bahwa persyaratan NKV adalah persyaratan yang ideal yang harus dipenuhi oleh produsen telur untuk menjamin bahwa telur tersebut aman di konsumsi oleh publik,” tambahnya.
Ia memastikan terus berupaya mendorong publik awareness (kepedulian publik) bersama stakeholder, agar petani ternak bisa memperhatikan prinsip-prinsip keamanan (biosecurity dan biosafety) dalam beternak.
Untuk itu, penegakan persyaratan NKV ini akan dilaksanakan secara bertahap dan memiliki skala prioritas.
Dalam hal ini diprioritaskan terlebih dahulu terhadap produsen telur, unit usaha atau perusahaan telur yang berskala bisnis dan melayani kebutuhan telur untuk publik.
“Konsumen diharapkan cerdas, tidak tergiur dengan harga yang murah. Belilah telur yang memang diperuntukan untuk konsumsi dan berlabel NKV, karena telah dijamin keamanan dan kualitasnya oleh pemerintah,” tutur Ketut.
Selain itu, Ditjen PKH juga telah mengedarkan surat edaran soal pelarangan penjualan telur tertunas atau telur HE dan telur infertil kepada seluruh pimpinan perusahaan pembibitan ayam ras per tanggal 29 April 2020 lalu.
Sebagai catatan, perkembangan penyerapan livebird (LB) oleh Perusahaan Pembibitan Ayam Ras dan Perusahaan Pakan Ternak sudah semakin meningkat. Per tanggal 14 Juni 2020 terdapat sembilan perusahaan yang sudah mencapai penyerapan 100 persen.
Sembilan perusahaan ini merupakan dari 22 perusahaan sudah mencapai 100% penyerapan LB sebagai bentuk kesanggupan dan komitmen membantu peternak pada saat harga LB jauh di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP).
Sebagai informasi, dijelaskan bahwa sampai saat ini penyerapan livebird mencapai 22,55 persen (928,833 ekor) dari target 4,100.000 ekor dengan sebaran di 7 (tujuh) provinsi. Rinciannya, Jawa Barat 448.664 ekor, Banten 26.615 ekor, Jawa Tengah 226.104 ekor, Daerah Istimewa Yogyakarta 9.919 ekor, Jawa Timur 171.884 ekor, Bali 30.415 ekor dan Sumatera Utara 15.232 ekor,” tutup Ketut.(hum/red)