Koran Jurnal, Jakarta — Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja dianggap kembali mampu membangkitkan iklim investasi Nasional setelah sempat mengalami kekosongan hukum akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Ciptaker sebelumnya.
Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Nindyo Pramono menjelaskan bahwa sejatinya dengan keberadaan UU Cipta Kerja telah membuat arus iklim investasi menjadi positif.
“Dari data IMF, World Bank, dan Indonesian Economic Prospect menunjukkan bahwa hadirnya UU Ciptaker memang memberikan iklim positif terhadap arus investasi, khususnya foreign direct investment,” katanya.
Bukan tanpa alasan, pasalnya memang peningkatan investasi di Tanah Air terjadi karena adanya pemangkasan mekanisme perizinan yang sudah tertuang dalam UU Cipta Kerja.
Sehingga, dengan adanya pemangkasan dan penyederhanaan perizinan tersebut membuat para pengusaha dan investor tidak lagi merasa kesulitan dalam hal perizinan.
“Tujuan dari UU Cipta Kerja ini antara lain meningkatkan ekosistem investasi, pemangkasan mekanisme perizinan dengan online single sub mission sebenarnya bertujuan untuk memangkas tentang jalur-jalur perizinan yang dulu dirasakan berbelit-belit oleh para investor,” tambah Prof. Nindyo.
Keberadaan UU Cipta Kerja ini juga telah sedikit-banyak membantu meningkatkan perekonomian nasional meski hanya 2 tahun berlaku sebelum akhirnya dibekukan oleh Putusan MK dan dianggap inkonstitusional bersyarat.
Terbukti, menurut Prof. Nindyo Pramono bahwa terjadi peningkatan investasi di Indonesia dari tahun 2015 hingga 2019 meski masih tertinggal dengan negara-negara tetangga.
“Melihat data dari Bloomberg dan World Investment Report, memang dari 2015 sampai 2019 peningkatan investasi kita ada, tapi peningkatan dari iklim investasi Indonesia masih kalah dari negara tetangga, Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam,” jelasnya pada Kamis (9/2).
Dalam sesi wawancara di salah satu stasiun televisi tersebut, Guru Besar UGM itu juga menambahkan bahwa sebenarnya yang dipersoalkan oleh MK hanyalah pada sisi proseduralnya saja dan bukan substansi dalam UU Cipta Kerja.
“UU Ciptaker dari segi prosedur dinyatakan inkonstitusional bersyarat, artinya bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam jangka 2 tahun tidak dilakukan perubahan terhadap prosedur saja, substansi tidak dipersoalkan,” ujarnya.
Kemudian, dalam jangka waktu yang diberikan oleh MK tersebut, akhirnya Pemerintah RI melakukan perbaikan dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang sudah menjadi kewenangan Presiden Jokowi.
Tentunya, pembentukan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja juga dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengantisipasi adanya kegentingan.
“Perppu Cipta Kerja tidak lepas dari landasan yuridis karena adanya keadaan kegentingan memaksa. Memang Presiden mempunyai kewenangan menerbitkan Perppu jika ada keagaan kegentingan memaksa,” terang Prof. Nindyo.
Lebih lanjut, kegentingan yang menyelimuti Tanah Air tersebut menurutnya adalah berkaitan dengan situasi krisis dan juga adanya kekosongan hukum yang ditinggalkan oleh UU Ciptaker sebelumnya.
“Beberapa parameternya adalah situasi krisis, adanya kepentingan mendesak kebutuhan perundang-undangan yang memang kosong sehingga mengisi kekosongan itu, kemudian terkait adanya krisis global yang berpengaruh pada krisis nasional,” ungkapnya.(“)