Tersangka BLBI, Syafruddin Arsyad Sebut Dugaan Keterlibatan Boediono dan Sri Mulyani

0

Koranjurnal.co.id, Jakarta – Syafruddin Arsyad Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menjadi tersangka dugaan korupsi kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menyeret nama Boediono, mantan wakil presiden yang diduga turut terlibat dalam kasus SKL BLBI. Hal tersebut dikatakan Syarifudin usai diperiksa kembali oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (03/01/2018) kemarin.

Syarifudin mengatakan, sebagai Kepala BPPN Ia sudah menyelesaikan urusannya ketika menyerahkan hak tagih BDNI kepada Boediono yang saat itu menjabat sebagai Menkeu. “Semua sudah saya sampaikan semua. Dan hak tagih ada di sini. Kalau mau dilihatin juga boleh. Saya sudah serahkan hak tagih Rp 4,8 triliun kepada Menteri Keuangan Pak Boediono tahun 2004,” ungkap Syafruddin.

Selain menyeret nama Boediono, Syafruddin juga menyebut Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Menurutnya, Sri Mulyani yang juga pernah menjabat sebagai Menkeu pada 2007 melakukan penjualan aset BDNI. “Menteri Keuangan 2007 menjual aset jadi Rp 220 miliar. Jadi ya silakan saja diinikan. Sudah selesai kok urusan saya,” tandasnya seraya masuk ke dalam mobil tahanan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, saat ini pihaknya telah mengerahan semua kemampuannya untuk mengungkap kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI yang telah merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Sejumlah saksi pun telah diperiksa untuk menelusuri korupsi yang terjadi pada tahun 2004 tersebut. Diantaranya memeriksa mantan Wapres Boediono. Ia diperiksa sehubungan dengan kapasitasnya saat itu sebagai menteri keuangan, yang sesuai dengan Keppres Nomor 177 Tahun 1999 tentang Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

“Terus terang saat ini kami masih fokus satu penyidikan yang berkaitan dengan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung). Pemburuan kami tentu tidak sampai disana saja, kami juga masih mendalami pihak lain yang tentu juga terlibat berdasarkan kecukupan bukti yang dimiliki,” kata Febri Diansyah yang dikonfirmasi di Jakarta, Jum’at (05/01/2018).

Febri menegaskan, dalam peyelidikan dugaan korupsi SKL BLBI tidak ada hambatan dari pihak mana pun. Oleh karenanya pihaknya memiliki komitmen dan target jika kasus ini dapat diselesaikan pada tahun 2018. Terkait berlarut-larutnya pengungkapan kasus ini, Febri mengatakan bahwa BLBI merupakan kasus yang sudah cukup lama dan beberapa bukti harus dicari sehingga tentu butuh kerjasama dengan pihak dan lembaga lainnya.

“Kami melihat bahwa kasus ini memiliki karakternya kompleks karena ada kompleksitas tersendiri dari bukti-bukti tersebut. Akan tapi kami akan mencoba untuk membongkar kasus ini,” jelasnya.

Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman mengatakan, kasus Korupsi BLBI merupakan mega skandal terbesar yang dihadapi bangsa ini, bahkan sebelum KPK lahir kasus ini sudah eksis sejak tahun 1998. Oleh karena itu menjadi uji nyali tersendiri bagi KPK dengan misi menuntaskan kasus BLBI di tahun 2018. Karena sudah menjadi rahasia umum mega skandal BLBI melibatkan kalangan elite yang saat ini masih berkuasa dan tak tersentuh.

“Salah satunya adalah dugaan keterlibatan Boediono, selaku direktur BI saat itu, Boediono bersama jajaran direksi BI lainnya, memutuskan untuk memberikan kelonggaran fasilitas terhadap sejumlah bank ketika dikhawatirkan terjadi persoalan likuiditas dan penarikan dana oleh nasabah,” ujarnya.

Dugaan keterlibatan Boediono dalam kasus BLBI, sambung Jajang, sebenarnya sudah terang benderang. Putusan Mahkamah Agung No 977, 979, 981 K/Pid/2004 tanggal 10 Juni 2005, menyebut Boediono ikut dalam rapat Direksi BI pada 15 Agustus 1997.

Dalam menuntaskan kasus BLBI, hal yang sulit dituntaskan sendiri oleh KPK. Perlu ada kerjasama “koordinasi” yang baik antar KPK Kejaksaan dan Polri khusus menangani BLBI.

Untuk diketahui, KPK menyebut Syafruddin mengusulkan disetujuinya KKSK perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Dalam audit terbaru BPK, KPK menyebut nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini menjadi Rp 4,58 triliun. Nilai itu disebabkan Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable, kemudian dilelang dan didapatkan hanya Rp 220 miliar. Sisanya, Rp 4,58 triliun, menjadi kerugian negara.

KPK sendiri sudah memeriksa Boediono pada Kamis (28/12/2017). Mantan wapres itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin. Boediono diperiksa dalam kapasitasnya saat itu sebagai Menkeu. Pemeriksaan Boediono merupakan kemajuan bagi KPK. Ini kali pertama bekas Wapres itu diperiksa. Untuk diketahui, selama periode 9 Agustus 2001 hingga 20 Oktober 2004 Boediono menjabat sebagai menteri keuangan dan sekaligus sebagai anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang merupakan komite pengambil keputusan atas kebijakan BPPN di atas Rp 1 triliun.

Sebagai anggota KKSK, Boediono terlibat langsung dalam setiap penambahan biaya rekapitalisasi perbankan di BPPN. Sebelumnya, KPK sudah memeriksa mantan Menteri Keuangan, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie, dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorojatun Kuntjoro. Kemudian, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menteri BUMN Rini M Soemarno, serta Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, seperti yang dilansir harianterbit.com.(red)