Koran Jurnal, Palembang – Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI, Rizal Ramli (RR) menilai, sistem makro ekonomi yang diterapkan saat ini bersifat sangat konservatif. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mandeg di angka 5 persen per tahun.
“Ekonomi sedang melambat, budget malah dipotong, pajak diuber-uber, itu bikin ekonomi tambah nyungsep,” kata Rizal Ramli dikutip kumparan, saat menghadiri deklarasi alumni perguruan tinggi se- Sumsel pendukung 02 di Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (31/03/2019).
Ia pun menuturkan, sampai hari ini pihaknya tidak pernah mendengar rencana calon presiden nomor urut 01, Jokowi untuk mengeluarkan rencana dan strategi baru agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5 persen.
Menurutnya, calon presiden Prabowo sudah meminta target pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8 persen. Caranya dalam waktu 100 hari kerja akan langsung mengambil kebijakan menurunkan tarif dasar listrik, sehingga emak-emak akan mampu menghemat uang sampai dengan Rp 600 ribu per bulan.
“Lalu kedua menurunkan harga bahan makanan, dari itu emak-emak bisa berhemat Rp 50 ribu per hari, sehingga dalam satu bulan bisa hemat Rp 1,5 juta. Kemudian ditambah penghematan listrik tadi membuat mereka memliki daya beli,” katanya.
Dampaknya, sektor ritel akan hidup kembali, dan ekonomi otomatis akan bertambah 1 persen. Kemudian, kata Rizal, capres Prabowo juga ingin membangun 1 juta unit rumah untuk rakyat setiap tahun. Sementara Jokowi hanya mampu membangun sekitar 320 ribu unit.
“Kalau bangun 1 juta unit rumah setiap tahun, lapangan kerja akan bertambah 3,5 juta baik langsung maupun tidak langsung. Kemudian, ekonomi akan kembali terdorong 1,5 persen. Nah dari situ saja artinya sudah bisa menambah pertumbuhan ekonomi hingga 7,5 persen, belum lagi rencana pengembangan sawah dan lain-lain,” katanya.
Menurutnya, memang capres Jokowi menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa mengangkat ekonomi Indonesia di atas 5 persen. RR mengaku prihatin banyak petani kebun di luar Jawa, khususnya Sumatera dan Sulawesi mengeluh dengan anjloknya sejumlah harga komoditi perkebunan. Seperti sawit yang anjlok hingga dibawah Rp 10 ribu per kilogramnya, sementara biaya panen dan angkutnya saja sudah lebih dari Rp 20 ribu.
“Begitu juga dengan karet dan kopra yang turut anjlok. Sementara solusi dari pak Jokowi itu ngasal. Malah menyuruh petani tanam jengkol, cabai, duren. Padahal seperti jengkol dan duren itu butuh waktu 7-8 tahun untuk panen, dengan waktu begitu lama rakyat bisa kesulitan luar biasa,” katanya.
Padahal, lanjut RR, ada cara yang lebih canggih. Misalnya, dana dari akumulasi tax ekspor sawit itu nilainya mencapai puluhan triliun. Tapi kini justru dipakai untuk perusahaan sawit besar, dimana seharusnya itu bisa dipakai untuk menetapkan harga dasar sawit, sehingga membuat harganya bisa lebih tinggi. Begitu juga dengan kopra, karet dan sebagainya.
“Jelas sekali kalau pemerintah sekarang tidak mampu mencari solusi yang cerdas, dan cenderung ngasal,” tukasnya.(jrs/kum/red)