Koran Jurnal, Jakarta – Pertemuan hari kedua, peserta Maritim Security Desktop Exercise (MSDE) and Law of The Sea Course yang diikuti 16, membahas skenario kasus pelanggaran hukum di Perairan Laut Internasional. Diskusi dipimpin oleh Prof. Stuart Kaye dari Australian National Centre for Ocean Resource and Security (ANCORS) University of Wollonggong, Australia, di sebuah hotel di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Rabu (18/06/2019).
Profesor dari University of Wollonggong, Australia itu menampilkan skenario kasus dimana ada sebuah kapal yang bermuatan minyak sedang berlayar di perairan laut internasional mengalami gangguan. Beberapa negara kawasan sekitar alur pelayaran kapal menangkap sebuah transmisi radio dari Kapal tersebut yang diindikasikan mengalami gangguan. Diterima ultimatum dari si pembajak bahwa kapal tersebut telah dibajak dan mengancam akan membahayakan kapal dan kru apabila permintaan uang tebusan tidak dipenuhi.
Si pembajak menguasai dan mengendalikan kapal menuju kebeberapa titik yang melintasi perairan laut teritorial negara tertentu dan terus melakukan pergerakan hinga gerombolan perompak itu meninggalkan kapal yang dibajak wilayah perairan laut teritorial negara tertentu.
Dari contoh kasus ini, Prof. Stuart Kaye, mengajukan beberapa pertanyaan kepada kelompok diskusi antara lain, gangguan kejahatan apa yang dialami kapal tersebut, aksi dan respon apa yang dapat diperbuat, unsur Coast Guard mana yang dapat secara langsung melakukan penindakan hukum dan apa tindakan Coast Guard negara-negara di sekitar kawasan tersebut.
Menanggapi pertanyaan dari contoh kasus itu kelompok diskusi Bakamla dan Japan Coast Guard (JCG) memberikan tanggapan yang disampaikan oleh Kasubdit Perencanaan Latihan Kolonel Bakamla Irwan Shobirin. Dalam jawabanya Kasubdit Renlat Bakamla menyampaikan bahwa kasus ini dapat dikategorikan sebagai perompakan bersenjata di kapal atau Armed Robbery Against Ship karena memasuki perairan laut teretorial negara “Paradisia”.
Namun menururut Kolonel Bakamla Irwan Sobirin, karena para perompak telah kabur ke negara “Venus”, maka negara Paradisia dapat meminta negara Venus untuk menangkap perompak tersebut bila telah ada kerjasama ekstradisi diantara kedua negara. Sementara itu kelompok diskusi lain juga memberikan tanggapan yang disampaikan oleh Blandina Ruth Viditha Adelaide Pella delegasi dari Kementerian Luar Negeri RI.
Dalam kesempatan tersebut delegasi Kemenlu RI menyoal negara mana yang bertanggung jawab bila timbul kerugian dalam penanggulangan pembajakan itu. Menjawab pertanyaan tersebut, Prof. Stuart Kaye mengatakan bahwa segala bentuk kerugian merupakan tanggung jawab si pelaku tindak kejahatan.
Melalui studi kasus ini diharapkan peserta MSDE yang tergabung dalam kelompok diskusi delegasi Coast Guard dapat bertukar pikiran, berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi permasalahan di perairan Laut Internasional dan teritorial.
Diskusi secara umum membahas sejauh mana kewenangan dan implementasi hukum laut internasional yang dianut Coast Guard negara-negara peserta MSDE dalam menanggulangi tindak kejahatan di perairan laut bebas.
Diskusi studi kasus dihadiri oleh Plh Direktur Kerjasama Kolonel Bakamla Salim, Kasubdit Kerjasama Luar Negeri Kolonel Bakamla Satya Pratama, Kasubdit Penyelenggaraan Operasi Udara Maritim Kolonel Bakamla Joko Triwibowo, Kasubdit Perencanaan Latihan Kolonel Bakamla Irwan Shobirin.
Selain itu, kegiatan yang dihadiri langsung oleh Commander Maritime Border Command (MBC) Australia Rear Admiral Lee Goddard itu juga dihadiri Director General for Security and Law Enforcement, Hellenic Coast Guard (Yunani), Commodore Georgios Karageorgos, perwakilan Coast Guard negara-negara peserta MSDE, jajaran stake holder dari Kemenlu RI, TNI AL, Polair, Bea Cukai, BIN, BNPP, BNPT, BNN, Kejagung, dan Kemenhub.(hum/red)