Koran Jurnal, Jakarta – Kebutuhan petani akan benih unggul menjadi peluang bagi industri benih. Benih dengan kualitas baik dan seragam akan menghasilkan produk dengan kualitas tinggi dan menentukan kualitas mutu komoditas pertanian Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Investasi Pertanian, Hari Priyono pada acara Focus Group Discussion (FGD) “Sosialisasi Pengembangan Investasi Pertanian” di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (12/12/2018).
FGD ini dilaksanakan untuk membahas regulasi bidang perbenihan serta menjawab tantangan kebijakan sistem perbenihan saat ini dan yang akan datang. Pada kesempatan tersebut Hari juga menyampaikan bahwa banyak hal penting yang menjadi kendala bidang perbenihan diantaranya minat inovasi industri perbenihan rendah karena adanya inkonsistensi aturan; terbatasnya pengetahuan petani dan keraguan akan benih bersertifikat yang tidak sesuai dengan isinya; serta belum dilakukan deregulasi secara signifikan dalam dunia perbenihan.
Pemerintah mempunyai tugas penting yaitu bagaimana melindungi plasma nutfah. “Tidak semua negara memiliki plasma nutfah seperti Indonesia, itu kelebihan kita, kita memiliki daya saing kompetitif,” ujar Hari.
Pemerintah diharapkan mempermudah akses pada plasma nutfah, agar mempunyai daya saing. “Pemerintah diharapkan terbuka pada inovasi teknologi, membangun kemandirian benih yang ramah investasi, serta memberikan perlindungan terhadap investasi perbenihan” ujar Hari.
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian, Erizal Jamal menyampaikan bahwa indikator industri perbenihan dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu: jumlah varietas yang dihasilkan, jumlah produksi benih, serta luas penyebaran varietas.
Terkait jumlah varietas yang dihasilkan, sampai dengan tahun 2017 jumlah varietas yang dilepas sebanyak 1.672 varietas dengan komoditas antara lain padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, sorghum, gandum, dan talas.
Untuk jumlah produksi benih padi bersertifikat, sampai dengan tahun 2017 sebanyak 210.561 ton dengan kebutuhan potensial sebanyak 383.348 ton, ini artinya pemenuhan benih tersebut mencapai 54,93 %.
Untuk penyebaran varietas padi, masih didominasi oleh padi jenis Ciherang yaitu sebesar 5.060.783 Ha atau sebesar 35,35%, padi Mekongga sebesar 10,05%, padi IR 64 sebesar 7,96%, padi Situ Bagendit 4,61%, padi Cigeulis 4,44%, padi varietas lain 26,31%, dan varietas lokal sebesar 11,28%.
Untuk penggunaan benih unggul bersertifikat, sampai dengan saat ini masih dibawah 50%. Meyikapi hal tersebut, pemerintah membuat road map industri perbenihan Indonesia untuk 10 tahun ke depan. Sub Sektor Tanaman Pangan menargetkan benih bersertifikat lebih dari 75% dengan negara acuan China dan India. Sub sektor hortikultura menargetkan impor kurang dari 25% dengan negara acuan Korea dan Thailand. Sub sektor perkebunan atau tanaman buah menargetkan benih bersertifikat lebih dari 75% dengan negara acuan Australia, sub sektor pertanian perkotaan atau hydroponik menargetkan impor kurang dari 50% dengan negara acuan Korea dan Taiwan.
Sementara itu Nana Laksana Ranu selaku Sekjen Asbenindo (Asosiasi Perbenihan Indonesia) menyampaikan bahwa tantangan industri perbenihan saat ini yaitu penyediaan benih tepat varietas, mutu, jumlah, dan waktu.
“Penggunaan benih unggul secara bebas dengan mutu yang baik dapat memotivasi pengguna petani dan memberikan peluang industri benih untuk berinvestasi dalam meningkatkan perannya,” ujar Nana.
Tantangan mendatang, pemerintah diharapkan dapat memberikan alternatif bantuan kepada industri perbenihan. Salah satunya indikator pajak, untuk memacu dan memotivasi industri perbenihan nasional, melalui kompensasi bayar pajak untuk investasi.
Nana berharap, kedepannya perusahaan benih modal dalam negeri mempunyai kemampuan membangun kemandirian benih nasional bahkan untuk ekspor. “Payung regulasi dibutuhkan untuk berkembangnya industri perbenihan. Peraturan perundangan harus berpihak kepada kemajuan industri benih dan petani” pungkas Nana.(ton/Hum)